HYIPB Bagus

Earngroups.com
CommoditiesCapital

AYO IKUTAN BISNIS DAPAT DOLAR

readbud - get paid to read and rate articles

BURUAN GABUNG

Tuesday, March 17, 2009

Alfatihah

Dari Jabir r.a., katanya dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya tali penghubung antara seseorang dengan syirik dan kafir, ialah meninggalkan shalat.”

Tahukah anda bahwa ibadah shalat itu terbagi antara Allah dan hamba-Nya separuh-separuh ?

Membaca Al Fatihah :

Nabi saw. bersabda: “Siapa yang tidak membaca Ummul Qur’an (Fatihah) dalam shalat, maka shalatnya tidak sempurna (Nabi mengulangnya sampai tiga kali). Lalu ditanyakan orang kepada Abu Hurairah, “Bagimana kalau kami shalat mengikut Imam?” Jawabnya, “Bacalah perlahan-lahan! Karena aku mendengar Rasulullah saw. bersabda, bahwa Allah Ta’ala berfirman: ‘Shalat itu Kubagi dua antara-Ku dan hamba-Ku. Untuk hamba-Ku ialah apa yang dimintanya.

Al-Fatihah adalah terbagi menjadi dua :

Ayat 1 - 4 : untuk Allah;
Ayat 5 : untuk Allah dan Hamba-Nya;
Ayat 6 - 7 : untuk Hamba-Nya.

Shalat juga bisa diartikan sebagai zikir kepada Allah. Melalui sabda Rasulullah saw, Allah berkata: “Aku adalah sahabat orang-orang yang mengingat-Ku”. Karenanya, bila Allah menjadi sahabat seseorang yang sedang shalat, itu berarti orang tersebut mampu melihat sahabatnya (Allah). Inilah sebabnya shalat itu disebut sarana berkomunikasi dengan Allah. Dan menurut Ibnu Arabi, barang siapa yang shalatnya sudah mencapai pada tingkatan melihat Allah, maka ia selalu menjadi imam dalam shalatnya, meskipun shalatnya sendirian. Sebab, para malaikat akan menjadi ma’mum di belakang orang yang shalat pada tingkatan itu. Shalat demikian inilah yang dapat mendatangkan ni’mat tiada tara.

Apabila kita Mengucapkan :

‘Bismillaahirrahmaanirrahiim’

(Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka Allah Ta’ala menjawab, “Hamba-Ku telah mengingat-Ku”.

‘Alhamdu lillahi rabbil ‘alamin’
(Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam), maka Allah Ta’ala menjawab, ‘Hamadani ‘abdi’ (Hamba-Ku telah memuji-Ku).

‘Arrahmaanirrahiim’
(Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang), maka Allah Ta’ala menjawab, ‘Atsna ‘alayya ‘abdi’ (Hamba-Ku telah mengagungkan-Ku).

‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathal ladzina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim waladhdhaallin’
(Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan ni’mat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula) jalan mereka yang sesat) maka Allah Ta’ala menjawab, ‘Hadza li ‘abdi’, wa li ‘abdi ma saala’ (Ini semua bagian Hamba-Ku, dan terkabullah semua permohonan hamba-Ku).

Jika tidak ingin terhubung dengan kesyirikan dan kekafiran, dan ingin menjadi sahabat Allah,….

MARILAH KITA TEGAKAN SHALAT

Sumber : Shahih Muslim & Republika

Tuesday, March 10, 2009

Makna Kelahiran Muhammad saw

Mencintai Rosulullah SAW ? Terapkan Syariah Islam , Campakkan Kapitalisme !

Makna Kelahiran Muhammad saw.


Kelahiran Muhammad saw. tentu tidaklah bermakna apa-apa seandainya beliau tidak diangkat sebagai nabi dan rasul Allah, yang bertugas untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada umat manusia agar mereka mau diatur dengan aturan apa saja yang telah diwahyukan-Nya kepada Nabi-Nya itu. Karena itu, Peringatan Maulid Nabi saw. pun tidak akan bermakna apa-apa—selain sebagai aktivitas ritual dan rutinitas belaka—jika kaum Muslim tidak mau diatur oleh wahyu Allah, yakni al-Quran dan as-Sunnah, yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad saw. ke tengah-tengah mereka. Padahal, Allah Swt. telah berfirman:


وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا


Apa saja yang diberikan Rasul kepada kalian, terimalah; apa saja yang dilarangnya atas kalian, tinggalkanlah. (QS al-Hasyr [59]: 7).

Lebih dari itu, pengagungan dan penghormatan kepada Rasulullah Muhammad saw., sejatinya merupakan perwujudan kecintaan kepada Allah, karena Muhammad saw. adalah kekasih-Nya. Jika memang demikian kenyataannya maka kaum Muslim wajib mengikuti sekaligus meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh aspek kehidupannya, bukan sekadar dalam aspek ibadah ritual dan akhlaknya saja. Allah Swt. berfirman:


قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللهَ فَاتَّبِعُونِي


Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku.” (QS Ali Imran [3]: 31).

Dalam ayat di atas, frasa fattabi‘ûnî (ikutilah aku) bermakna umum, karena memang tidak ada indikasi adanya pengkhususan (takhshîsh), pembatasan (taqyîd), atau penekanan (tahsyîr) hanya pada aspek-aspek tertentu yang dipraktikkan Nabi saw.

Di samping itu, Allah Swt. juga berfirman:


وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ


Sesungguhnya engkau berada di atas khuluq yang agung. (QS al-Qalam [68]: 4).

Di dalam tafsirnya, Imam Jalalin menyatakan bahwa kata khuluq dalam ayat di atas bermakna dîn (agama, jalan hidup) (Lihat: Jalalain, Tafsîr Jalâlayn, 1/758). Dengan demikian, ayat di atas bisa dimaknai: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung. Tegasnya, menurut Imam Ibn Katsir, dengan mengutip pendapat Ibn Abbas, ayat itu bermakna: Sesungguhnya engkau berada di atas agama/jalan hidup yang agung, yakni Islam (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr Ibn Katsîr, 4/403). Ibn Katsir lalu mengaitkan ayat ini dengan sebuah hadis yang meriwayatkan bahwa Aisyah istri Nabi saw. pernah ditanya oleh Sa’ad bin Hisyam mengenai akhlak Nabi saw. Aisyah lalu menjawab:


كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ


Sesungguhnya akhlaknya adalah al-Quran. (HR Ahmad).

Dengan demikian, berdasarkan ayat al-Quran dan hadis penuturan Aisyah di atas, dapat disimpulkan bahwa meneladani Nabi Muhammad saw. hakikatnya adalah dengan cara mengamalkan seluruh isi al-Quran, yang tidak hanya menyangkut ibadah ritual dan akhlak saja, tetapi mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Artinya, kaum Muslim dituntut untuk mengikuti dan meneladani Nabi Muhammad saw. dalam seluruh perilakunya: mulai dari akidah dan ibadahnya; makanan/minuman, pakaian, dan akhlaknya; hingga berbagai muamalah yang dilakukannya seperti dalam bidang ekonomi, sosial, politik, pendidikan, hukum, dan pemerintahan.

Rasulullah saw. sendiri tidak hanya mengajari kita bagaimana mengucapkan syahadat serta melaksanakan shalat, shaum, zakat, dan haji secara benar; tetapi juga mengajarkan bagaimana mencari nafkah, melakukan transaksi ekonomi, menjalani kehidupan sosial, menjalankan pendidikan, melaksanakan aktivitas politik (pengaturan masyarakat), menerapkan sanksi-sanksi hukum (‘uqûbat) bagi pelaku kriminal, dan mengatur pemerintahan/negara secara benar. Lalu, apakah memang Rasulullah saw. hanya layak diikuti dan diteladani dalam masalah ibadah ritual dan akhlaknya saja, tidak dalam perkara-perkara lainnya? Tentu saja tidak!

Jika demikian, mengapa saat ini kita tidak mau meninggalkan riba dan transaksi-transaksi batil yang dibuat oleh sistem Kapitalisme sekular; tidak mau mengatur urusan sosial dengan aturan Islam; tidak mau menjalankan pendidikan dan politik Islam; tidak mau menerapkan sanksi-sanksi hukum Islam (seperti qishâsh, potong tangan bagi pencuri, rajam bagi pezina, cambuk bagi pemabuk, hukuman mati bagi yang murtad, dll); juga tidak mau mengatur pemerintahan/negara dengan aturan-aturan Islam? Bukankah semua itu justru pernah dipraktikan oleh Rasulullah saw. selama bertahun-tahun di Madinah dalam kedudukannya sebagai kepala Negara Islam (Daulah Islamiyah)? (Arif B/hzb)


By : arrahmah.com